Tuesday, July 5, 2011

Teges Prita Soraya; The Beauty of PR

Rambutnya yang dipangkas pendek bergaya masa kini terlihat sangat pas berpadu dengan busana putih rancangan desainer muda Indonesia yang melekat di tubuhnya. Buku “Marketing Fashion” karya Harriet Posner di tangannya, jelas menunjukkan bila wanita manis ini berkarir di dunia fesyen.
         Ya, itulah Teges Prita Soraya kini. Setelah berhasil mewujudkan mimpinya sebagai Public Relation (PR) profesional hingga mendapatkan beberapa penghargaan, Teges –begitu mantan PR RCTI ini disapa-, mulai beralih ke bidang fesyen.
         “Aku sekarang ini berjualan sebagian karya desainer Indonesia ke luar negeri. Syukur alhamdulilah diterima,” ujar Teges sekaligus menjelaskan buku yang dipegangnya.
         Suatu siang di pengujung April itu ia meluangkan waktu untuk berbincang dengan WI, setelah menyelesaikan meetingnya dengan salah satu desainer kaos di sebuah kafe di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
          
UKM Berkelas
         Terceburnya Teges ke dunia fesyen tentu tak terlepas dari pekerjaannya sebagai PR di Grand Indonesia (GI), sebuah shoping mal ternama di ibukota. Terlebih wanita kelahiran 26 Juli 1971 ini juga punya perhatian khusus terhadap perkembangan para desainer muda, terutama yang seangkatan dengan adiknya, Kleting Titis Wigati.
         “Awalnya aku memang tidak secara khusus mengenal komunitas ini. Tapi aku memantau mereka. Ya memang salah satunya karena aku tahu Kleting dan siapa saja yang seangkatan dengan dia ya. Jadi ceritanya, sekitar setahun lebih sebelum meminta Level One pada manajemen Grand Indonesia, aku mengamati mereka dan berpikir, ‘Kalau para desainer muda ini dibuatkan tempat khusus pasti lucu deh.’ Karena tren dunia pun sedang ke Asia kan,” cerita Teges.
         Maka untuk mereka, para desainer muda inilah Teges mengalokasikan dana CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan tempatnya bekerja. Karena ia melihat para desainer itu sebetulnya adalah para pelaku usaha kecil menengah (UKM) yang tidak mungkin bisa membayar sewa sepetak ruang di mal sekelas GI, apalagi yang lokasinya satu lantai dengan brand dunia seperti Zara.
         Maka, ibu dua anak ini tentu saja bahagia saat perusahaan akhirnya menyediakan lokasi seluas 1300 m untuk geliat para desainer muda.
         “Karena mereka ini sebetulnya kan UKM. Tapi gaya dan kemasannya memang bukan UKM, jadi kalaupun ditaruh di mal juga menyenangkan. Selain itu bagus untuk mereka juga kan, kian dikenal banyak orang,” kata Teges lagi.
         Begitulah cara Teges berkontribusi untuk memajukan industri fesyen di negeri ini. Ia tidak meninggalkan dunia PR, namun ia menganggap bahwa pekerjaannya kini adalah sebuah perkembangan dari dunia yang digelutinya sejak SMA itu.
         “Karena The beauty of PR itu, kita bisa menjual sesuatu tanpa seseorang itu sadar kita sedang menjual sesuatu. Jujur aku bukan penjual yang bagus, tapi aku bisa mempresentasikan sesuatu,” ujar wanita Jawa yang mengaku tak bisa tawar menawar harga ini.

Buku adalah Investasi
         Maka untuk pekerjaannya kali ini, Teges pun harus rela meninggalkan sejenak aktivitas mengajar tentang kehumasan di London School yang juga almamaternya. Kini, ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengamati perkembangan dunia fesyen dan belajar dari buku.
         “Aku memang tidak pernah berhenti belajar. Karena aku selalu beranggapan bahwa setiap pekerjaan adalah proyek baru. Dan setiap proyek baru pasti akan ada sesuatu yang harus dipelajari. Jadi kalau kamu tidak sempat sekolah ya baca buku,” katanya, lebih kepada diri sendiri.
         Karena kesenangannya belajar dan membaca itulah, Teges selalu mengajari anak-anaknya untuk cinta buku. Maka jangan heran bila kedua buah hatinya, Azura dan Rosa lebih banyak mengenal toko buku dari pada mal dengan berbagai rekreasi bermain di dalamnya.
         “Bagi mereka, Gramedia atau Periplus itu adalah toko mainan, karena di sana mereka boleh belanja,he,he,he,” kata Teges.
         Hal itu karena sejak kecil, dirinya pun dibiasakan oleh sang orang tua untuk selalu haus ilmu.
         “Bagiku, buku dan ilmu adalah salah satu investasi. Seperti sekarang ini misalnya, aku sedang belajar cara marketing di bidang fesyen. Aku memang tidak kuliah fesyen, tapi aku bisa beli buku, ya sudah belajar dari buku saja,” kisah wanita yang mengawali karir PR secara profesional di Hardrock Cafe ini.
         Berbekal materi yang didapat dari buku dan dipadukan dengan hasil pengamatannya di beberapa negara, Teges pun akhirnya menjadi ‘Guru’ bagi para desainer muda. Terkadang ia membuat workshop atau bahkan mengajar mereka secara langsung bagaimana memasuki pasar internasional.

Boks:
“Silahkan Dicoba Anakku Sayang”
         Semasa kecil, Teges tak pernah bercita-cita menjadi dokter, pilot, apalagi presiden. Ketika ia berkeinginan menjadi sesuatu, PR lah jawabannya. Dengan cinta ia kemudian menekuni profesinya ini. Hasilnya, Best PR Award diperolehnya dari World Alliance.
         “Saat SMA aku melihat ibu temanku yang menjadi PR, sepertinya kok kerjanya menyenangkan ya. Dia bisa bikin event, promosi, dan sebagainya. Aku langsung terpikir, ‘Kayaknya ini nih pekerjaan yang tepat buat aku.’ Ya sudah mulai saat itu aku tahu aku ingin jadi humas,” kenangnya.
         Namun rupanya hasil UMPTN menempatkannya menjadi mahasiswa Sastra China di Universitas Indonesia. Ia sempat menjalani pendidikan di sana, namun kecintaannya akan PR membuat Teges memutuskan untuk menyelesaikan pendidikan di London School saja.
         “Makanya aku senang kalau anak-anak sekarang itu tahu apa yang dia inginkan atau mau dipelajari jauh sebelum masuk kuliah. Tidak bisa seperti jamanku dulu, banyak yang tidak tahu saat kuliah harus masuk jurusan apa. Aku sih pada akhirnya tahu dan berani nekad, nah kalau yang tidak berani mengambil langkah lain?” tanya Teges.
         Karena pengalaman itu, Teges berusaha menggali bakat anaknya sejak dini.
         “Karena anak-anak itu kan mudah sekali berubah tentang apa yang dia inginkan ya. Makanya aku biarkan saja mereka mencoba satu-satu. Rosa katanya ingin jadi desainer, atau pelukis. Sementara Azura yang memang suka memasak dan sering minta diajak ke dapur restoran dengan bapaknya (mantan suami), ingin jadi chef. Aku bilang, ‘Silahkan dicoba anakku sayang.’ Karena aku tidak ingin mereka mengalami kegelapan sepertiku,” tutur Teges.
         Teges cukup puas dengan metode yang diterapkan di sekolah anak-anaknya, Cikal. Ia mengaku bukannya menyepelekan mata pelajaran matematika dan sebagainya, yang terpenting baginya, ia tahu anak-anaknya ingin dijuruskan kemana. Meski tentu saja ia juga siap bila buah hatinya berubah pikiran.
         Mereka punya waktu deh,” ujar Teges yang ingin sepenuhnya mendampingi anak-anak menyongsong masa depan.
        

No comments:

Post a Comment